A place for us

Dear All,

Welcome to my Blog.

This Blog is especially dedicated to us - couples, married couples, families from mixed nationality or different citizenship.

Living and navigating life may already be challenging, but for some of us - the difficulties lay not from within but from the policies and prohibitions imposed to us by rules and regulations from our respective Governments.

Clearly it is about time that our lawmakers need to have a deep and clear understanding and sufficient knowledge of the need and aspiration of their citizen - married, in relationship or are bound by family ties to foreign citizen.

We may come from different nationalities or different citizenship - but what unite us is our relationship to our love ones. We are the global future and the world must welcome us with an open mind and embrace this infinite opportunity.

I am inviting you to share your experience, your thoughts and opinion - in the hope that from this discussions we are able to formulate and help our respective governments to regulate a just, fair and effective policy so that we can make our life enjoyable, safe and welcome where ever we are but most importantly to safeguard the interest of our children and their well being.

Let's talk!

Selamat datang di Blog ini,

Tujuan membuat Blog ini adalah sebagai wadah saya menulis tentang perkawinan campuran berdasarkan kajian, analisa dan pengalaman saya pribadi. Saya akan sangat berterima kasih apabila para pembaca berkenan untuk berbagi kajian, analisa dan atau pengalaman pribadi anda.

Perkawinan campuran terjadi baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Melalui Blog ini saya akan mengangkat isue yang relevant bagi perkawinan campuran sesuai dengan perkembangan hukum yang terjadi atau sebuah isu yang menurut pendapat saya penting dan perlu untuk dikaji lebih dalam.

Sengaja saya tidak membuat tulisan saya dalam sebuah format tulisan resmi. Karena ketika saya menulis seubah isu untuk Blog ini, yang ada dibenak saya adalah saya dan anda pembaca, duduk bersama dalam keadaan yang sehat dan menyenangkan (mungkin sambil minum kopi dan makan singkong goreng) sembari kita bersama membicarakan berbagai opini, pendapat ( baik itu persamaan atau beda pendapat) tentang perkawinan campuran baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.

Ruang lingkup Blog ini adalah untuk kita: calon, pasangan dan atau keturunan dari perkawinan campuran.

Akhir kata semoga Blog ini bermanfaat dan memberikan sedikit gambaran atau informasi kepada para pembaca. Silahkan meninggalkan komentar, masukkan atau mungkin perbedaan sudut pandang.

Mari kita berbagi ilmu dan pengalaman!




Thursday, 19 January 2012

Menitik beratkan property untuk orang asing - salah bidik.

Rencana untuk mengatur kepemilikkan tanah yang diperuntukkan bagi perkawinan campuran - atau lebih tepatnya untuk orang asing, ibarat seorang buta yang diminta untuk menjelaskan bentuk tubuh gajah. Ia hanya mampu mendeskripsikan apa yang dapat dirabanya karena keterbatasannya untuk melihat keseluruhan bentuk dari hewan itu.

Saat ini, baik pihak developer maupun pemerintah yang mempunyai keinginan untuk menggiatkan industri property di Indonesia hanya menitik beratkan keberadaan orang asing saja di tanah air. Tanpa kepekaan bahwa ada benang kusut yang harus diluruskan dan melihat keterkaitan antaran potensi pertumbuhan property dengan kedudukan seorang warganegara Indonesia di dalam perkawinan campuran. 


Warganegara Indonesia yang tidak memiliki perjanjian kawin dalam perkawinan campurannya tidak boleh memiliki hak milik atau hak guna bangunan, hanya hak pakai saja.

Sementara kedua hak ini adalah hak yang paling sering digunakan oleh pihak developer dalam membangun kemudian menjual rumah atau apartmen. Bila mengikuti peraturan dalam Undang Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikkan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia -orang asing ini hanya dapat memiliki hak pakai saja.

Sehingga ibarat pemanah bidikkan dari para developer ini senantiasa akan salah sasaran. 

Memang melalui berbagai lika liku perjanjian yang dipersiapkan orang asing ini dapat memiliki apartmen atau rumah yang ditawarkan yaitu melalui perjanjian Nominee, Perjanjian Pemilikkan ( Land Agreement) dengan surat kuasa, Perjanjian Opsi, Perjanjian Sewa Menyewa (Lease Agreement) disertai dengan kuasa menjual (Power of Attorney) hibah wasiat dan surat pernyataan ahli waris.

Namun bukan kah sama saja artinya dengan menyuburkan praktek penyelundupan hukum? Bagaimana dengan jaminan perlindungan kepastian dan keamanan konsumen pembeli yang orang asing (atau keluarga perkawinan campuran?)

Dan mengapa yang menjadi fokus dari para developer dan pemerintah hanya berkisar pada keberadaan orang asing saja?

Apakah warganegara Indonesia dalam perkawinan campuran tidak mempunyai andil yang jauh lebih besar dari keberadaan pasangannya dalam perkawinan campuran?

Bukankah perkawinan tidak menyebabkan peleburan kewarganegaraan? Dan karenanya sebagai warganegara Indonesia opsi hak kepemilikkan tanah tetap dijamin dalam Undang Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960?

Memang dalam pasal 21 (3) UUPA ada pembatasan orang asing untuk memiliki hak milik karena percampuran harta perkawinan, namun bukan kah pembatasan itu adalah untuk orang asingnya bukan untuk pihak warganegara Indonesia dalam perkawinan campuran tersebut?

Perjanjian kawin yang hingga kini masih berlaku didasarkan prinsip dan ketentuan lama soal perkawinan. Mengapa demikian? Karena peraturan perjanjian kawin yang berlaku hingga saat ini merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Burgelijk WetBoek (KUHPer). Untuk memahami ketentuan dari perjanjian kawin - kita tidak dapat semata mata melihat peraturan perjanjian kawin itu sendiri namun harus melihat mengapa perjanjian kawin itu diatur dalam BW.

Bila dirunut maka dapatlah kita pahami bahwa pada waktu itu (abad ke 18 ) kekuasaan suami atas istri demikian besar dan ini terjadi dimana mana kawasan/ benua Eropa. Seorang wanita ketika menikah hilang semua hak hak pribadinya termasuk properti, harta benda, warisan dan lain sebagainya. Maka untuk mengurangi kekuasaan suami tersebut maka diciptakannya lah perjanjian kawin. 

Indonesiapun ( karena sejarah yang panjang dengan Negara Belanda) menganut ketentuan yang ada di BW tersebut mengenai perkawinan, bahkan bila dilihat dari pengaturan soal perkawinan campuran berdasarkan Stbld 1898 No. 158 istri otomatis melebur dan tunduk pada hukum suami. 

Namun ketika UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 maka ketentuan peleburan berdasarkan Stbld 1898 No. 158 itu tidak berlaku lagi dan pasal pasal tentang perkawinan yang diatur dalam Burgelijk Wetboek dihapus dan dinyatakan tidak berlaku.

Namun alih alih karena peraturan pelaksana dari UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tidak (belum) mengatur soal perjanjian kawin, maka...berdasarkan keputusan Mahkamah Agung No. MA/Pemb/tentang petunjuk Mahkamah Agung mengenai pelaksanaan Undang undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 - perjanjian kawin didalam KUHPer di'hidup'kan kembali.

Sementara payung dari diciptakannya perjanjian kawin sudah 'mati'. Disinilah letak tambal sulam yang akhirnya diteruskan hingga saat ini.

Karenanya dengan  melihat secara sepintas kronologis penerbitan perundang-undangan dapat dimengerti mengapa rujukan dari percampuran harta dalam pasal 21 (3)UUPA masih mengikuti ketentuan dan asas perkawinan yang lama.

Apakah hal yang telah usang dipertahankan sementara para pembidik terus akan mengejar target yang salah?

Bukankah logika yang seharusnya bekerja adalah: angkat kembali hak hak warganegara Indonesia dalam perkawinan campuran yang menikah dengan atau tanpa perjanjian kawin.

Pengangkatan itu disesuai dengan asas dan prinsip yang berkembang tentang: penghormatan hak individu seseorang; bahwa perkawinan tidak menyebabkan peleburan kewarganegaraan; suami dan istri mempunyai kedudukan yang seimbang dan para pihak dapat melakukan perbuatan hukum; atas harta bersama itu adalah hak privat yang tidak dapat menjadi pembatas hak seorang warganegara dalam pemenuhan hak konstitusionalnya. Perjanjian kawin dilihat semata mata sebagai sebuah pengaturan harta kekayaan bersama dalam soal memperoleh kenikmatan, pertanggung jawaban dan pemenuhan prestasi dari para pihak yang sepakat mengadakan perjanjian.

Maka dengan demikian selama seorang itu memegang kewarganegaraan Indonesianya maka dengan atau tanpa perjanjian kawin ia tidak boleh diperlakukan secara diskiminatif. 

Bila itu berhasil diangkat, maka bukankah geliat property dan pemasukkan pajak karena perbuatan hukum jual beli menjadi bergairah dan tepat sasaran? Karena bukankah yang memegang opsi pemilihan jenis tanah adalah seorang warganegara Indonesia dan bukan orang asing dalam perkawinan campuran?

Dan bukankah akan mempersingkat proses pengalihan tanah tanpa adanya unsur penyelundupan hukum dan karenanya semua pihak dapat hidup dan menikmati apa yang menjadi haknya menjadi tentram?

Mari kita membidik dengan jitu!

Wednesday, 18 January 2012

Sekilas catatan tentang Kewarganegaraan Ganda

Senang sekali melihat para warganegara Indonesia kian sibuk memperjuangkan hak haknya di era yang serba terbuka dan memungkinkan untuk itu. Walaupun ada kalanya penyuaraan aspirasi terkesan diluar kendali, namun intinya adalah sama ...para warganegara Indonesia ini ingin menggunakan hak untuk menyatakan pendapat di muka umum dan adanya persamaan kedudukan di muka hukum.

Dari sebagian kelompok masyarakat tersebut ada kelompok yang mempunyai visi yang jauh kedepan, yaitu menghantarkan Indonesia dan bangsanya menjadi warganegara dunia dengan mengajukan aspirasi KEWARGANEGARAAN GANDA bagi semua.

Sebuah konsep yang sangat progressif dan patut untuk diberikan waktu dan perhatian untuk mengupas konsep kewarganegaraan ganda tersebut.

Saat ini kewarganegaraan ganda hanya terbatas bagi anak anak yang berusia 0-18 tahun dan baginya berlaku kewarganegaraan tunggal mutlak ketika anak yang bersangkutan mencapai usia 21 tahun.

Patut dicermati kesempatan bagi anak anak ini tidak melulu bagi anak anak yang lahir dari perkawinan campuran saja, namun bagi anak anak yang karena satu dan lain hal mempunyai kesempatan untuk memperoleh kewarganegaraan lain selain kewarganegaraan Indonesia misalnya: 1)negara tempat ia dilahirkan memberikan kewarganegaraan karena negara tersebut mengikuti prinsip ius soli; 2) anak anak Indonesia yang menjadi bagian sebuah keluarga karena adopsi.

Indonesia sudah lama mengikuti asas kewarganegaraan tunggal berdasarkan asas ius sanguinis, namun karena perkembangan kebutuhan masyarakat dan demi kepentingan terbaik anak anak maka ass ius soli pun diadopsi dalam peraturan kewarganegaraan yang tertuang didalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Taken by: Enggi Holt
Bagaimana dengan Kewarganegaraan Ganda?

Saya pikir ada dua opsi untuk mengusung konsep di atas yaitu sebagai berikut:

1. Perubahan konsep yang terdapat di dalam UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006:

Diluar dari penetapan kedua asas tadi, hal yang paling krusial menurut saya dan ini berkaitan erat dengan aspirasi untuk mengajukan Kewarganegaraan Ganda adalah prinsip partisipasi aktif seorang warganegara Indonesia untuk menyatakan loyalitasnya kepada negara Indonesia.

Hal ini jelas sekali terlihat dalam pasal 23 i dari UU Kewarganegaraan Indonesia - dimana ketentuan ini khususnya berlaku bagi para warganegara Indonesia yang tinggal di luar wilayah Indonesia untuk melaporkan diri kepada kantor perwakilan negara Indonesia di negara setempat akan keberadaannya selain untuk keperluan perpanjangan pasport juga ditujukan sebagai alat kontrol terhadap keberadaan warganegaranya.

Bila karena satu dan lain hal warganegara yang bersangkutan tidak melaporkan diri maka dianggap ia telah melepaskan kewarganegaraan Indonesianya dan dengan demikian ia untuk selanjutnya dianggap sebagai orang asing. Sepanjang ia karena kelalaiannya ini tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

Selain itu dapat dilihat pula di pasal 6 yang menyangkut kewarganegaraan ganda terbatas,dimana ketika anak mencapai usia 21 dan tidak menyatakan secara tegas memilih warganegara Indonesia dan  tidak melakukan tindakan hukum yang nyata untuk mendukung keinginannya menjadi Warganegara Indonesia maka demi hukum anak ini dianggap telah menanggalkan kewarganegaraan Indonesianya.

Asas kewarganegaraan aktif yang dianut oleh negara Indonesia ini,  berjalan dengan baik bila prosedur penerbitan pasport masih menggunakan tata cara cetak dengan penerbitan buku hijau. Namun kita ketahui bersama saat ini Pemerintah sedang menggalakkan paperless documentation berupa: e-ktp dan e-pasport. Kedua sistim memungkinkan data pribadi yang bersangkutan disimpan dalam sebuah sistim yang canggih (tentunya menyerap biaya yang tidak sedikit untuk persiapan dari sistim tersebut) dan dapat diakses dimanapun sesuai dengan kebutuhan yang bersangkutan.

Semua ini dimungkinkan karena digunakannya Single number entry ( Nomor Induk Kependudukan/NIK) untuk mendata warganegara dan penduduk yang bersangkutan. Bahkan kedepannya NIK ini akan berlaku dan digunakan untuk pelbagai keperluan seperti misalnya perpajakan. Arti dari semua ini adalah bahwa ketika data pribadi seorang warganegara Indonesia di unduh ke dalam sistim - ia tidak perlu lagi untuk menghadap untuk melaporkan keberadaannya, kecuali jika ada data data yang perlu diperbarui.

Implikasi dari semua ini adalah asas kewarganegaraan aktif sangat dapat dirubah menjadi asas kewarganegaraan pasif. Yaitu bila dengan asas yang pertama warganegara dituntut secara aktif memperbaharui loyalitasnya kepada negara maka dengan asas yang kedua negara menuntut warganegaranya untuk selamanya menjadi bagian dari Negara Indonesia.

Ini akan membantu negara dalam memantau warganegaranya dimanapun ia berada melalui perbuatan hukum yang dilakukan sekali saja dalam hidup yang bersangkutan yaitu ketika ia melaporkan  atau dilaporkan ( bagi yang dibawah umur) tentang status hukumnya untuk di unduh kedalam sistim.

Berkaitan dengan Kewarganegaraan Ganda melalui asas kewarganegaraan pasif maka apabila seorang warganegara Indonesia memiliki kewarganegaraan lain - yang menjadi utamanya adalah kewarganegaraan Indonesianya (primary nationality/citizenship) sedangkan kewarganegaraan lain yang dimilikinya adalah sebagai pelengkap (secondary nationality/citizenship).


Melalui perubahan konsep ini maka Negara Indonesia: 1) tidak akan perlu secara radikal mengubah banyak hal yang berkaitan dengan ketentuan ketentuan yang mengatur soal hak dan kewajiban warganegaranya. Sebab dengan asas ini, sepanjang Negara membutuhkan tenaga, keahlian, suara dan kesetiaanya dari orang yang bersangkutan, maka ia mempunyai kewajiban sebagai seorang warganegara yang baik untuk memenuhinya.

2) Tetap memiliki asset yang paling utama yaitu warganegaranya disatu sisi namun disisi yang lain memberikan kesempatan warganegaranya untuk menyebar keseluruh pelosok dunia dan menjadikan warganegaranya tersebut sebagai duta bangsa karena berdasarkan prinsip kewarganegaraan pasif sekalinya seorang itu berwarganegara Indonesia maka ia akan tetap menjadi warganegara Indonesia.

3)Memegang kendali dan kontrol untuk menentukan siapa yang dapat menjadi warganegara Indonesia mengingat ikatan yang akan terjalin demikian kuatnya maka diperlukan sistim yang ketat.

2. Asas Reciprocal:

Dengan asas ini, Indonesia tetap menganut asas kewarganegaraan secara aktif dimana adanya kewajiban bagi para warganegaranya untuk melaporkan dirinya bila ingin tetap menjadi seorang warganegara Indonesia.

Namun negara Indonesia mengadakan perjanjian bilateral dengan sejumlah negara tujuan untuk mengijinkan warganegara Indonesia menjadi warganegara di negara tujuan tersebut dan demikian sebaliknya. Hal ini bisa saja dilakukan dengan melihat sejarah Indonesia dengan negara dan bangsa asing. Salah satunya Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang dengan negara Belanda, Portugis, Jepang dan Inggris. Dimana situasi dan kondisi masa lalu negara-negara ini sempat menjadi 'tuan' di negara Indonesia.

Akan tetapi sekarang keadaan telah berubah dan kita sebagai bangsa yang berdaulat duduk sejajar dengan negara negara tersebut dan tidak ada salahnya menjalin kerjasama dalam bentuk 'pertukaran kewarganegaraan' dengan negara negara tersebut. Model seperti ini yang diterapkan oleh negara Filipina dimana negara tersebut hanya mengizinkan warganegaranya memiliki kewarganegaraan Amerika selain sebagai warganegara Filipina.

Keuntungannya dari asas Resiprocal ini antara lain adalah: 1) Warganegara Indonesia dapat menggali pendidikan dan pengalaman dari negara negara tersebut, 2) akses UNI EROPA dapat pula dinikmati oleh warganegara Indonesia yang menjadi salah satu dari negara yang disebutkan tersebut dan 3) Negara dapat dengan cermat mengkontrol arus warganegaranya yang memiliki kewarganegaraan ganda dan juga mempererat hubungan baik ekonomi, sosial maupun pertahananan dengan negara negara yang menjadi pasangannya.

Tentu diantara keuntungan yang disebutkan di atas pastinya ada kerugian atau lebih tepatnya ketidak pastian dalam pelaksanaannya, yang antara lain adalah:

Opsi pertama: 1) Negara Indonesia mempunyai kewajiban yang demikian besar dan luas untuk menjamin keselamatan warganegaranya, 2) keberhasilan dari ketentuan ini berada pada tingkat kedisplinan dan kesadaran dari pihak pihak yang bersangkutan untuk memenuhi kewajibannya.

Opsi kedua: 1) untuk mengadakan perjanjian bilateral mengenai kewarganegaraan tentunya akan memerlukan waktu, biaya dan diplomasi yang luar biasa dari kedua negara, 2) tidak semua warganegara Indonesia mempunyai kepentingan dengan negara negara yang disebutkan diatas, dan 3) Negara Indonesia tidak mempunyai otoritas yang penuh terhadap warganegaranya.

Tentu banyak lagi cara untuk memikirkan konsep kewarganegaraan ganda ini dan banyak kemungkinan akan keuntungan maupun kerugian. Namun sekali lagi tulisan ini maupun wacana lainnya hanya sekedar wacana.

Bila benar benar ingin mengubah Indonesia dari sistim kewarganegaraan tunggal menjadi kewarganegaraan ganda diperlukan sebuah pemikiran yang matang dan holistik dari seluruh lini secara simultan dan konsisten. Sehingga maksud dan tujuan yang baik dari konsep ini tidak akan disewenangkan oleh pihak pihak yang tidak bertanggung jawab.

Demikian sekilas catatan saya pribadi tentang aspirasi yang tengah menggeliat disebagian masyarakat warganegara Indonesia.

Bristol, 2012

Sunday, 1 January 2012

Agenda (s) 2012 -voicing my RIGHTS!!!

Happy New  Year 2012.

What is in store for us? I would say plenty!!! It all depends on do we know what we want? Do we know why we want it? and do we know how to get it?

As for the purpose of this blog...let's ponder some "carry on Agenda" from 2011:

Agenda No. 1:

In 2011 a new bill was enacted UU Keimigrasian No. 6/2011.

Horaay!!

Under the new bill the wife/husband of an Indonesian Citizen may be able to live and work under  different circumstances than those who are not married to an Indonesian. So what is next?

The logical thing to do is to revise the  UU Ketenagakerjaan No.13/2003 (Labour Law). This revision is especially crucial for mixed marriage couple (s)  if they choose to obtain permanent residence by way of marriage. Under the Immigration Law, this type of permanent residency holders may work without holding Company employment guarantee. A new concept both for the Immigration Law and the current Labour Law.

However, in the same year (2011) the Indonesian Parliament decided not to include UU Ketenagakerjaan in its National Legislation Program, a program designed especially to revise /or amend obsolete bills - to simplify things. Worse yet- no further plans of talks on UU Ketenagakerjaan in their agenda.

How the stipulation in the Immigration Law for mixed marriage couple will play out without the support of the Labour Law, is a big question (at least for me). Some argue...a government regulation on Immigration( Peraturan Pemerintah) is sufficient to implement the new concept.

Well..that is if we still want to pay big bucks to hold a family permanent residency. You want to know why? Because employment and all of its requirements are not under the sphere of Immigration Law but under the Labour Law . How can it be for a lower branch of regulation (Peraturan Pemerintah in Immigration) bypassing a Law which is different in hierarchy and  regulation (Labour Law) and as such provide guarantee and continuity in its implementation?

Agenda No.2: (NEW but VERY IMPORTANT!!)

Taken by: Enggi Holt
Agrarian Law ( Undang undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 Pasal 21 (3) ) the wording of "for a foreigner:...join asset as marriage consequence" (loose translations)

Since forever - an Indonesian citizen married to a foreign citizen without prenuptial agreement (an agreement to manage assets in marriage) must be satisfied that their rights to own a house or land is limited to Hak Pakai or right to use of land only.

Although the nature of a mixed nationality marriage is well accepted universally as well as nationally  - that a mixed citizen/nationality marriage will not caused one of the party to withdrew their citizenship by force or by law, however, if we look at Article 21(3) of UUPA - Indonesian Citizen is  deemed to dissolve his/her citizenship if married to a foreigner without a prenuptial agreement.