e-KTP adalah salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk menjadikan Negara Indonesia menjadi sebuah negara yang demokratis dan transparan. Situs yang menjelaskan apa fungsi e-KTP dapat diunggah di www.e-ktp.com.
Seperti layaknya sebuah sistim baru apalagi berlaku untuk sebuah wilayah yang sangat luas seperti Indonesia, implementasi e-KTP memerlukan penyesuaian dan penyempurnaan secara konsisten. Namun kedepannya e-KTP akan menjadi sebuah dokumen penting bagi setiap warganegara dan penduduk di Indonesia untuk melakukan berbagai kegiatan seperti pembuatan pasport, perpajakan, data kependudukan dan lain sebagainya.
Tulisan ini tentunya tidak akan membicarakan tentang kegunaan atau manfaat e-KTP, saya tertarik untuk menulis dampak dari e-KTP ini terhadap kegiatan jual beli tanah dengan hak milik bagi pasangan perkawinan campuran yang tidak memiliki perjanjian kawin. Dan tentunya apa jalan terbaik yang saya pikir dapat saya ajukan lewat tulisan ini.
Sudah menjadi rahasia umum, jika pasangan perkawinan campuran yang tidak memiliki perjanjian kawin dan mempunyai niat untuk memiliki tanah di Indonesia dengan hak milik atas tanah - hanya ada dua opsi yang ditawarkan: (1) memakai identitas palsu bagi pasangan yang berwarganegara Indonesia dengan mencantumkan bahwa dirinya belum menikah atau (2) memakai opsi nominee yaitu menunjuk orang lain sebagai pemegang hak milik atas tanah melalui sejumlah perjanjian pengikat.
Topik tentang tanah dapat dilihat di blog ini dengan judul: 'Tanahku bukan milikku- anomali hak atas tanah seorang warga negara Indonesia dalam perkawinan campuran' Kamis 30 Juni 2011
Opsi pertama, walaupun tidak ada data yang jelas banyak diikuti, sebab membuat KTP ganda atau membuat KTP yang tidak sesuai dengan faktanya sebelum program e-KTP ini diperkenalkan adalah sangat mudah.
Keadaan ini sangat merugikan bagi pasangan yang berwarganegara Indonesia karena (1) ia dipaksa untuk memalsukan identitasnya dan (2) diperlakukan dan disamakannya kedudukan kita sebagai warganegara asing bila tidak memiliki perjanjian kawin.
Menjadi pertanyaan saya saat ini adalah bila e-KTP telah diberlakukan secara konsitent di seluruh wilayah Indonesia bagaimana dengan pasangan perkawinan campuran yang tidak memiliki perjanjian kawin untuk memiliki tanah dengan hak milik? dan bagaimana bagi pasangan perkawinan campuran yang telah 'kadung' memakai identitas palsu untuk memiliki tanah dengan hak milik dikemudian hari?
Karena bukankah dengan pemberlakuan Nomor Induk Kependudukan yang tertera pada e-KTP menjadi data base identitas seseorang dan karenanya data base ini nantinya juga akan dipergunakan oleh Badan Pertanahan Negara bagi kegiatan pertanahan ( jual beli- wasiat - hibah)?
Kita memang wajib mendukung upaya pencapaian Negara Indonesia menjadi negara yang demokratis dan transparan. Dan kita pun wajib secara demokratis untuk mengajukan perubahan segala bentuk peraturan yang masih membatasi hak dasar kita sebagai warganegara Indonesia.
Usulan
Satu satu jalan menurut opini saya adalah mengajukan Judicial Review Pasal 21 ayat 3 Undang - undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 ke Mahkamah Konstitusi. Sebagai pihak yang tetap memegang Kewarganegaraan Indonesia bukankah segala sesuatunya telah dengan tegas dijamin oleh Undang undang Dasar 1945, termasuk memiliki tanah dengan hak tertinggi yaitu hak milik ( Pasal 21 ayat 1 Undang-undang Pokok Agraria). Bukankah 'kebiasaan' yang terjadi selama ini jelas jelas merugikan harkat dan martabat kita sebagai seorang warganegara Indonesia?
Pasal tersebut lah yang hingga saat ini menimbulkan berbagai interpertasi dan yang hingga saat ini menjadi momok pembatasan hak seorang warganegara Indonesia yang menikah dengan warganegara asing tanpa perjanjian kawin untuk memenuhi hak dasarnya dalam memiliki hak milik atas tanah.
Bila ini tidak dirubah dan masih mengikuti 'kebiasaan lama' berdasarkan pasal yang telah tersebut di atas, bagi pasangan perkawinan campuran yang tidak memiliki perjanjian kawin, secara hukum hak atas tanah yang dapat dimiliki adalah hak pakai saja.
Melalui Judicial Review diharapkan adanya ketegasan dan karenanya menjadi panduan bagi para pejabat pembuat tanah dan institusi yang terkait bahwa kami pihak pasangan yang berwarganegara Indonesia dalam sebuah perkawinan campuran yang sah - selama masih setia memegang kewarganegaraan Indonesia - tidak ada alasan untuk mengurangi hak kami sebagai warganegara Indonesia sebagaimana yang dijaminkan oleh UUD 1945. Apalagi pengurangan itu berdasarkan alasan menikah dengan orang asing dan tidak adanya perjanjian kawin. Karena pernikahan tidak menyebabkan seseorang kehilangan kewarganegaraannya secara otomatis. Dan ketentuan itu dapat dilihat berturut dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006.
Lebih jauh bila kita melihat dampak e-KTP dan Pasal 21 ayat 3 UUPA, geliat industry property baik yang dikelola oleh developer maupun tanah perorangan - akan turut merasakan imbasnya. Saat ini memang belum terasa karena memang membuat KTP dengan identitas palsu dapat dengan mudah dilakukan.
Namun, kita harus mendukung keberhasilan program e-KTP dan mengganti KTP lama pada waktunya dengan e- KTP. Sehingga apa akibatnya? Bisa dilihat dengan mudah, saat ini rata rata property yang ditawarkan oleh developer adalah berstatuskan hak guna bangunan baik itu perumahan maupun apartment. Atau individu yang menawarkan tanah dengan hak milik.
Dimana kedua hak ini: hak milik dan hak guna bangunan, berdasarkan Pasal 21 ayat 3 UUPA dan interpertasi di lapangan tidak dapat dimiliki oleh seorang warganegara Indonesia yang menikah dengan orang asing bila ia tidak memililki perjanjian kawin. Ia dilihat sebagai 'seorang warganegara asing' dan karenanya hanya berhak untuk memiliki tanah dengan hak pakai saja.
Sehingga jelas, kebutuhan untuk dirubahnya ketentuan yang membatasi hak kita sebagai warganegara Indonesia tidak hanya bagi kepentingan kita (pelaku perkawinan campuran) semata saja, namun juga bagi kepentingan berbagai pihak secara berkesinambungan.
Penutup
Perubahan disetiap lini memang diperlukan agar Negara Indonesia menjadi sebuah negara yang demokratis, jujur, transparan serta meletakkan hak dan kewajiban setiap warganegara Indonesia pada kedudukannya yang sewajarnya sesuai dengan apa yang dijaminkan oleh UUD 1945.
Dan kebutuhan untuk merubah Pasal 21 ayat 3 UUPA dengan pemberlakuan e-KTP ini semakin terasa pentingnya. Memang diperlukan sebuah kerja sama yang harmonis antara para pelaku perkawinan campuran, para developer property dan pejabat umum dalam hal ini Notaris/PPAT serta instansi yang berwenang, untuk melalukan terobosan yang berani namun mampu untuk menjamin kepastian hak, menegakkan hukum dan menghargai harkat dan martabat seorang warganegara Indonesia di tanah airnya sendiri.
A Blog for Perkawinan Campuran (mixed nationalities/citizenship marriage) - let's share informations
A place for us
Dear All,
Welcome to my Blog.
This Blog is especially dedicated to us - couples, married couples, families from mixed nationality or different citizenship.
Living and navigating life may already be challenging, but for some of us - the difficulties lay not from within but from the policies and prohibitions imposed to us by rules and regulations from our respective Governments.
Clearly it is about time that our lawmakers need to have a deep and clear understanding and sufficient knowledge of the need and aspiration of their citizen - married, in relationship or are bound by family ties to foreign citizen.
We may come from different nationalities or different citizenship - but what unite us is our relationship to our love ones. We are the global future and the world must welcome us with an open mind and embrace this infinite opportunity.
I am inviting you to share your experience, your thoughts and opinion - in the hope that from this discussions we are able to formulate and help our respective governments to regulate a just, fair and effective policy so that we can make our life enjoyable, safe and welcome where ever we are but most importantly to safeguard the interest of our children and their well being.
Let's talk!
Selamat datang di Blog ini,
Tujuan membuat Blog ini adalah sebagai wadah saya menulis tentang perkawinan campuran berdasarkan kajian, analisa dan pengalaman saya pribadi. Saya akan sangat berterima kasih apabila para pembaca berkenan untuk berbagi kajian, analisa dan atau pengalaman pribadi anda.
Perkawinan campuran terjadi baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Melalui Blog ini saya akan mengangkat isue yang relevant bagi perkawinan campuran sesuai dengan perkembangan hukum yang terjadi atau sebuah isu yang menurut pendapat saya penting dan perlu untuk dikaji lebih dalam.
Sengaja saya tidak membuat tulisan saya dalam sebuah format tulisan resmi. Karena ketika saya menulis seubah isu untuk Blog ini, yang ada dibenak saya adalah saya dan anda pembaca, duduk bersama dalam keadaan yang sehat dan menyenangkan (mungkin sambil minum kopi dan makan singkong goreng) sembari kita bersama membicarakan berbagai opini, pendapat ( baik itu persamaan atau beda pendapat) tentang perkawinan campuran baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Ruang lingkup Blog ini adalah untuk kita: calon, pasangan dan atau keturunan dari perkawinan campuran.
Akhir kata semoga Blog ini bermanfaat dan memberikan sedikit gambaran atau informasi kepada para pembaca. Silahkan meninggalkan komentar, masukkan atau mungkin perbedaan sudut pandang.
Mari kita berbagi ilmu dan pengalaman!
Aduuh kita tunggu dan berharap dengan sangat bahwa UU akan berubah. Supaya kita pasangan mix married gk kehilangan haknya sebagai WNI di negara sendiri. Tapi buruan dong di ajuin perubahannya, aku mau pindah nih tahun depan ke Indonesia tanah tumpah darahku :D
ReplyDeleteKristina
Dear Enggi,
ReplyDeleteTerima kasih atas blognya yang sangat informatif dan inspiring. Andaikan saya tahu mengenai semua ini sebelum saya menikah. Sayangnya saya sudah menikah tanpa pre nup.
Boleh saya minta advise mbak Enggi?
Saya memiliki property atas nama saya sendiri dan pakai usaha sendiri sebelum menikah. Saya sudah tanya sana sini, katanya saya tidak bisa proses jual beli karena suami bukan WNI dan pada saat jual beli perlu tanda tangan suami...
Bagaimana ini, saya padahal sebelum menikah sudah tanya dulu lho sama catatan sipil, dan mereka bilang tidak ada masalah.
Saya tidak mau kehilangan property saya ataupun investasi saya yang saya sudah dapatkan lewat jerih payah bertahun tahun.
Saya sedang mempelajaru suatu thesis dari seorang mahasiswa mengenai pembuatan perjanjian pernikahan setelah menikah. Menurut hasil penelitiannya, hal ini bisa saja dibuat dengan pengajuan ke pengadilan tinggi. Apa benar?
Mohon saran mbak Enggi