| Picture taken by Enggi Holt |
Baru baru ini saya mempunyai kesempatan membaca dari berbagai sumber tentang pembahasan pertanahan di Indonesia, kemudian berpikir mengapa dalam pembahasan tersebut sangat giat menitik beratkan kepentingan warganegara asing sebagai pemilik tanah? Bukankah sudah ada pengaturannya dalam Undang Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA) bahwa bagi orang asing hanya diijinkan untuk memiliki tanah dengan hak pakai – kalau tidak percaya coba lihat UUPA Pasal 42 (b)?
Hak pakai untuk orang asing ini ditegaskan lagi di UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, kemudian (akan) ditegaskan lagi dalam Rancangan Undang-undang tentang Rumah Susun yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah dan Komisi terkait DPR-RI.
Timbul pertanyaan di benak saya, bagaimana hak seorang warganegara Indonesia yang menikah dengan seorang warganegara asing secara sah tanpa adanya perjanjian pra nikah? Kemana larinya hak hakikinya dalam pemilikan tanah yang dijaminkan oleh Undang Undang Dasar 1945 dan kemudian ditegaskan kembali dalam UUPA Pasal 21 (1): hanya warganegara Indonesia dapat memiliki hak milik?
Umumnya orang melihat dari jangka waktu kepemilikannya: sebidang tanah dengan hak milik jangka waktunya tak terbatas sementara hak pakai jangka waktunya terbatas. Dilihat dari segi komersil hak milik tentunya mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada hak pakai.
Sementara saya melihatnya sebagai perbedaan antara hak seseorang: yaitu hak seorang warganegara Indonesia dibedakan dengan hak seorang warganegara asing dalam hal keterikatannya dengan tanah. Ini memang sudah selayaknya demikian. Sebagai seorang warganegara ia akan memiliki hak hak tertentu yang tidak akan dimiliki oleh seorang warganegara asing, contoh lainya hak suara, hak untuk memilih dan dipilih. Itu juga sebagai faktor yang membedakan hak dan kewajiban seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing.
Sehingga sewajarnya barometer yang ditentukan oleh UUPA adalah status kewarganegaraan seseorang. Interpertasi pribadi saya adalah sepanjang seorang warganegara Indonesia tidak melepaskan kewarganegaraan Indonesianya maka sepanjang itu pula ia berhak menikmati hak untuk memiliki tanah dengan hak tertinggi tersebut.
Pembatasan kepemilikan tanah selanjutnya dipertegas di pasal 21 (3) UUPA yaitu:
1. Orang asing karena pewarisan-tanpa-wasiat atau percampuran harta perkawinan;
2. Warganegara Indonesia yang menanggalkan kewarganegaraannya
Tidak boleh memiliki tanah dengan hak milik.
Pertanyaan saya: apakah karena menikah dengan seorang asing, seorang warganegara negara Indonesia itu sama seperti menanggalkan kewarganegaraan Indonesianya?
Patut dipahami ketika UUPA No. 5 Tahun 1960 disahkan dan diumumkan, peraturan tentang perkawinan campuran masih mengikuti ketentuan yang lama yaitu Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158. Dimana dalam peraturan tersebut memang mengatur tentang peleburan kewarganegaraan perempuan Indonesia bila menikah dengan seorang warganegara asing. Perempuan ini dianggap demi hukum melepaskan kewarganegaraannya dan haknya untuk tunduk pada hukum asing si suami.
Bagaimana perkembangannya setelah tahun 1960 tersebut?
Wajah perkawinan campuran telah berubah sejak tahun 1960 tersebut, yang jelas tidak adanya lagi peleburan kewarganegaraan dan tidak ada peraturan yang mewajibkan istri tunduk pada hukum asing si suami melainkan saling menghormati dan mempunyai kedudukan yang seimbang dimuka hukum. Hal ini dapat dilihat dalam prinsip prinsip yang terkandung didalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Lebih jauh prinsip kemandirian dan pengakuan sebagai subjek hukum yang berdiri sendiri secara jelas dapat dilihat dari UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Sehingga dengan runtutan perkembangan hukum diatas, agak heran jika hilangnya hak seorang warganegara Indonesia dalam sebuah perkawinan campuran tanpa perjanjian pra nikah hingga kini masih dipertahankan. Sepertinya prinsip peninggalan dari S. 1898 No. 158 terus menghantui alam pikir masyarakat modern dan kalangan hukum di Indonesia.
Mengapa saya sebut sebagai sebuah anomali?
Mari kita lihat prinsip pertanahan:
Tanah mengikuti asas lex rei sitae. Asas ini mengatur hukum yang berlaku adalah hukum dimana letak tanah ini berada, yaitu berkaitan dengan topik ini adalah tanah tanah yang ada diwilayah Indonesia sehingga mengikuti hukum di Indonesia (UUPA). Apa hukumnya bagi seorang warganegara Indonesia untuk memiliki tanah? Sepanjang ia tidak melepaskan kewarganegaraannya ia dapat memiliki hak milik atas tanah.
Mari kita lihat prinsip kewarganegaraan.
Asas kewarganegaraan Indonesia mengikuti prinsip lex patriae dan asas kemandirian artinya: 1. Sepanjang ia tidak menanggalkan kewarganegaraannya hukum nasionalnya lah yang berlaku baginya dimanapun ia berada dan 2. Ia berkuasa penuh untuk mempertahankannya atau menanggalkan kewarganegaraannya tanpa paksaan.
Mari kita lihat prinsip perkawinan.
Perkawinan menjadi sebuah perkawinan campuran bila didalamnya terdapat dua kewarganegaraan yang berbeda, pihak yang satu adalah seorang warganegara Indonesia dan pihak lainnya adalah seorang warganegara asing. Artinya Negara melalui UU Perkawinan mengakui bahwa:1. adanya perbedaan kewarganegaraan dalam sebuah perkawinan campuran; 2. perkawinan tersebut tidak menyebabkan terjadinya peleburan kewarganegaraan Indonesia dengan kewarganegaraan asing pasangannya; dan 3. Suami dan Istri mempunyai kedudukan seimbang dan masing masing berhak untuk melakukan tindakan hukum.
Apa yang terjadi dalam prakteknya?
Hingga saat ini yang terjadi adalah pasangan perkawinan campuran tanpa memiliki perjanjian pra nikah dianjurkan oleh para praktisi hukum beberapa opsi yaitu:
- Memakai nama pihak lain diluar pernikahan yang berwarganegara Indonesia dengan membuat sejumlah perjanjian: perjanjian nominee, perjanjian kepemilikan dengan surat kuasa, perjanjian opsi, perjanjian sewa menyewa disertai dengan surat kuasa untuk menjual, hibah wasiat, surat pernyataan para ahli waris; atau
- Memakai identitas palsu bagi pasangan perempuan warganegara Indonesia dengan status belum menikah dan ditambah lagi dengan dibuatkannya sejumlah perjanjian diantara pasangan suami istri tersebut; atau
- Hanya dapat membeli tanah dengan hak pakai bila pasangan tidak ingin memakai nama pihak lain atau membuatkan identitas palsu.
Mengapa timbul anjuran ini? Alasannya adalah adanya penyatuan harta bersama karena tidak ada perjanjian perkawinan. Maka hak seorang warganegara Indonesia menjadi sama dengan hak seorang warganegara asing. Begitulah interpertasi 'hukum' yang diberikan kepada para pelaku perkawinan campuran. Lantas pertanyaan saya kemana prinsip lex rei sitae, prinsip lex patriae dan kemandirian serta prinsip tidak demi hukum adanya penyatuan kewarganegaraan karena perkawinan?
Apakah ini bentuk pelanggaran hak asasi seorang warganegara Indonesia?
Iya dan iya. Sebab dengan keadaan yang demikian, hak seorang warganegara Indonesia ini tidak memperoleh jaminan kepemilikan sebagaimana yang terkandung didalam UUD 1945 Pasal 28 (H) dan memperoleh perlakuan diskriminatif sebagai sesama warganegara Indonesia sebagaimana yang dilarang oleh Pasal 28 I (2) UUD 1945.
Apa kerugian yang diderita oleh seorang warganegara Indonesia ini?
- Hak dasarnya dihapuskan dan haknya ditentukan oleh ada atau tidak adanya penyatuan harta perkawinan.
- Kerugian secara materil, sebab seperti yang diketahui nilai tanah dengan hak milik tentunya lebih tinggi dari nilai tanah dengan hak pakai.
- Tidak adanya kepastian hukum dan cenderung terjerumus dalam perbuatan melawan hukum yang memang dianjurkan oleh praktisi hukum. Sementara jika terjadi sengketa dikemudian hari, belum tentu juga haknya benar benar terlindungi.
Bagaimana seharusnya?
- Menurut pendapat pribadi saya interpertasi dari Pasal 21 (3) tersebut dikaitkan dengan perkembangan hukum yang saat ini terjadi adalah: Bila terdapat percampuran harta perkawinan dalam sebuah perkawinan campuran dan sepanjang pihak yang memegang kewarganegaraan Indonesia tidak menanggalkan atau memperoleh kewarganegaraan lain maka ia tetap berhak untuk memiliki hak atas tanah dengan namanya. Landasannya adalah prinsip-prinsip yang telah saya sebutkan diatas. Sementara ketika si warganegara Indonesia ini meninggal barulah ketentuan dari Pasal 21 (3) ini ‘hidup’ bagi pihak pasangan atau anaknya yang berwarganegara asing.
- Agar pihak praktisi hukum yakin dengan no. 1 diatas, dan biasanya memang memerlukan suatu “surat sakti” kelembagaan, maka saya sangat menganjurkan agar para pelaku perkawinan campuran yang berkepentingan mengupayakan semacam Judicial Review terhadap ketentuan peraturan yang ada sekarang.
Catatan terakhir:
Bagi para penentu kebijakan mohon diingat dalam sebuah keluarga, tampuk pemegang keputusan untuk membeli rumah bukan berada di tangan seorang suami, namun berada di tangan istri! Sehingga bila anda sekalian hanya mefokuskan kepada kepentingan asingnya saja tanpa melihat dengan jernih potensi perkawinan campuran yang sesungguhnya, maka niscaya berbagai peraturan yang digulirkan pada akhirnya juga tidak akan tepat sasaran!
Bagi sesama warganegara yang tidak mempunyai pengalaman atau tidak mengetahui seluk beluk tentang perkawinan campuran, tulisan ini bukan bermaksud sebagai bentuk lain pengambil alihan tanah tanah Indonesia seperti sinyalemen yang berkembang ketika pembicaraan tentang pertanahan diangkat ranah umum. Namun lebih kepada mengingatkan bahwa ada sebagian dari saudara-saudara kalian yang hingga saat ini hak dasarnya masih terpinggirkan.
Dan untuk menjadi sebuah bangsa yang maju, hak hak dasar warganegara memang harus dijaminkan seutuhnya oleh Negara, apapun latar belakang kita.
No comments:
Post a Comment